Penyintas Bom Bali Khawatirkan Pemotongan Anggaran LPSK

Penyintas Bom Bali Khawatirkan Pemotongan Anggaran LPSK: Bantuan Medis Terancam
Jakarta – Rencana pemotongan anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menuai kekhawatiran serius, terutama dari para penyintas tragedi Bom Bali 2002. Salah satu penyintas, Chusnul Chotimah, mengungkapkan kegelisahannya terhadap potensi hilangnya akses terhadap bantuan medis vital yang selama ini sangat dibutuhkan.
Pemangkasan dana ini dikhawatirkan akan memperburuk kondisi para korban yang masih menjalani perawatan fisik dan psikologis. Para penyintas meminta pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan ini, mengingat peran penting LPSK dalam mendampingi korban kejahatan berat.
Latar Belakang Pemotongan Anggaran LPSK
Pemerintah mengumumkan langkah pemotongan anggaran sebagai bagian dari kebijakan efisiensi nasional. LPSK, yang selama ini berperan memberikan perlindungan serta bantuan medis dan psikologis kepada saksi dan korban kejahatan, termasuk dalam daftar lembaga yang terdampak.
Pemangkasan ini diproyeksikan berpengaruh terhadap beberapa layanan penting, seperti:
- Bantuan medis untuk korban kejahatan berat, termasuk penyintas Bom Bali
- Dukungan psikologis dan konseling yang sangat dibutuhkan korban trauma
- Perlindungan saksi dalam kasus-kasus besar yang sedang diproses hukum
Suara Para Penyintas: “Kami Tak Boleh Dilupakan”
Penyintas Bom Bali, Chusnul Chotimah, menyampaikan kegelisahannya saat ditemui awak media. Ia mengaku takut kehilangan akses perawatan yang selama ini sangat membantu proses pemulihan fisiknya.
“Kami masih butuh pengobatan rutin. Kalau anggaran LPSK dipotong, bagaimana dengan nasib kami? Kami merasa dilupakan,” ujar Chusnul.
Tak hanya Chusnul, penyintas lainnya juga menyuarakan keprihatinan yang sama. Mereka menekankan bahwa dukungan dari LPSK bukan sekadar soal uang, tetapi menyangkut hak dasar atas kesehatan dan keadilan.
Respons LPSK dan Pemerintah
LPSK melalui perwakilannya menyatakan prihatin dengan kebijakan ini. Lembaga tersebut menegaskan bahwa pemotongan anggaran berpotensi menghambat layanan perlindungan dan bantuan yang selama ini berjalan efektif.
“Penyintas kejahatan seperti Bom Bali membutuhkan pendampingan jangka panjang. Anggaran yang dipotong akan sangat berdampak pada pelayanan kami,” jelas Wakil Ketua LPSK.
Sementara itu, pihak pemerintah mengatakan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari penyesuaian anggaran yang diharapkan tidak mengganggu layanan esensial. Namun, hingga saat ini belum ada kepastian apakah anggaran LPSK akan diprioritaskan dalam revisi kebijakan mendatang.
Dampak Potensial bagi Korban dan Saksi
Pengurangan anggaran LPSK bisa berdampak luas, terutama bagi mereka yang masih dalam proses pemulihan fisik maupun psikologis. Beberapa potensi dampaknya antara lain:
- Terhentinya pengobatan dan perawatan medis rutin bagi korban luka berat
- Minimnya dukungan psikologis untuk korban yang mengalami trauma berkepanjangan
- Pengurangan jangkauan perlindungan saksi dalam kasus-kasus kejahatan besar
- Turunnya kepercayaan publik terhadap sistem perlindungan korban di Indonesia
Para penyintas khawatir jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan, banyak korban yang terpaksa menghentikan pengobatan karena ketiadaan dana.
Kesimpulan
Pemotongan anggaran LPSK telah menimbulkan kecemasan mendalam di kalangan penyintas Bom Bali 2002. Mereka yang masih bergantung pada layanan medis dan psikologis dari lembaga ini kini menghadapi ketidakpastian akan kelanjutan dukungan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Pemerintah diharapkan segera meninjau ulang kebijakan ini dan mendengarkan suara para korban. Perlindungan saksi dan korban kejahatan berat adalah kewajiban negara yang tak boleh dikesampingkan atas nama efisiensi anggaran.